Bisakah Donor Sperma Jadi Solusi?

Beda lagi dengan perlakuan yang diterima pendonor sperma di China. Perawat cantiklah yang akan langsung memompa pendonor sperma di ruang terbuka dengan kasur berjejer. Di sana pula pendonor tidur bersebelahan dengan beberapa suster yang melaksanakan tugasnya, mengambil sperma pendonor satu per satu dengan mengenakan sarung tangan untuk menjamin kebersihan.

Bisakah Donor Sperma Jadi Solusi

Terlihat kan, praktik bank sperma demikian serius dan sudah sangat biasa dilakukan di negara lain. Bagaimana dengan di Indonesia? Teknologi kedokteran yang demikian canggih mampu menemukan teknik inseminasi buatan, atau yang kita kenal dengan bayi tabung, solusi bagi para pasangan yang mendambakan kehadiran buah hati. FIMELA.com pernah membahas fenomena bayi tabung ini, sampai beberapa orang yang akhirnya memilih inseminasi buatan untuk mewujudkan impian mereka memiliki anak, seperti Inul Daratista dan dr. Grace Judio-Kahl, MSc., MH, CHT.

Awalnya, kelayakan teknik bayi tabung masih jadi perdebatan berbagai kalangan, pro dan kontra pun terus mengiringi perkembangan teknik ini sampai kemudian dianggap layak dipraktikkan di negeri ini, dengan syarat sperma yang dipakai adalah sperma pasangan resmi, bukan dari bank sperma yang menyimpan banyak sekali sperma dari para pendonor, seperti di negara lainnya.

Setelah disahkan di Indonesia, walaupun nggak semua menyetujuinya, permintaan bayi tabung terus meningkat hingga kini. Banyak pula perempuan yang berhasil hamil setelah mendapat sumbangan sperma berkualitas dari sang suami. Tapi, kendala masih saja ada pada sperma yang didonorkan. Jika kualitas sperma suami rendah, otomatis program bayi tabung nggak akan bisa dijalankan. Wacana donor dan bank sperma tetaplah kontroversial. Ilmu kedokteran di Indonesia sendiri masih menjunjung tinggi agama, budaya, dan norma yang berlaku, sehingga juga nggak menyarankan adanya bank sperma.

Pemerintah sebenarnya sudah membuat ketetapan, Pasal 16 UU Kesehatan No.23/1992 dan Peraturan Menteri Kesehatan No.73 tahun 1992 menetapkan inseminasi buatan hanya diperbolehkan pada suami-istri yang sah, lalu menggunakkan sperma dan sel telur pasangan tersebut yang kemudian ditanam dalam rahim istri.MUI sendiri juga mengeluarkan fatwa haramnya mengenai praktik jual-beli ataupun donor sperma. Bagaimana dengan pendapat beberapa Fimelova tentang fenomena ini?

“Nggak masuk akal menurutku. Punya anak itu kan positif, perkara anak yang dilahirkan dari sperma suami atau dari bank sperma, niatnya baik. Kaidah kedokteran kalau disandingkan terus dengan agama dan kultur artinya operasi saat melahirkan atau kegiatan kedokteran lainnya juga seharusnya dilarang, bisa dengan alasan pornografi misalnya. Atau dokter laki-laki juga nggak diizinkan memegang pasien perempuan. Begitu kalau mau adil,” Prim, 22 tahun, mahasiswi, berpendapat.

“Memang sulit. Di satu sisi, niat punya anak itu ibadah, tapi di sisi lain bertentangan dengan norma dan agama kan, kalau benih yang dikandung bukan berasal dari suami sendiri, sama halnya dengan berzinah. Mungkin begitu anggapannya. Saya sendiri setuju kalau perkembangan teknologi disesuaikan dengan budaya bangsa kita, agar semua sejahtera dan sejalan,” Peppy, 23 tahun, mahasiswi, mengemukakan pendapat yang berbeda.

Prof. Does Sampoerno dari Fakultas Kesehatan Masyarakat UI memberikan penjelasan, “Tujuan bank sperma kan menghasilkan keturunan, di Indonesia baru sah kalau sperma suami untuk inseminasi terhadap istrinya sendiri. Apalagi bank sperma untuk tujuan komersial, belum tepat dilakukan di Indonesia karena kultur, terutama masalah agama. Harus mempertimbangkan masalah agama, budaya, norma, hak asasi, apalagi untuk negara-negara multikultural.”

Ada empat prinsip pokok dalam etika kesehatan yang menurut dr. Does harus dipatuhi, yaitu menghargai hak asasi orang lain, perbuatan baik, tidak merugikan, serta adil. Karenanya harus dilihat kepentingan individu itu merugikan orang lain atau nggak, karena dalam etika berbuat baik yang diutamakan adalah keuntungan individu dan masyarakat. Kalau dengan adanya bank sperma masyarakat justru resah karena anggapan pelanggaran norma dan agama, maka lebih baik yang diperbolehkan hanya inseminasi buatan suami dengan istrinya sendiri. Karena itulah bank sperma tidak bisa dipraktikkan di Indonesia.

Walaupun larangan itu sudah jelas, banyak masyarakat kita yang lantas memilih pergi ke luar negeri untuk mendapatkan perawatan yang tidak diperbolehkan di Indonesia, seperti bank sperma, surrogate mother, sampai aborsi, karena memang belum ada peraturan yang memperjelas larangan atau izin untuk kasus tersebut. Akhirnya, semua kembali lagi ke pilihan masing-masing kan, mau tetap mencoba bank sperma untuk mengusahakan keturunan, atau melakukan sesuai prosedur yang berlaku di negara kita, walaupun mungkin butuh proses lebih panjang untuk “menyempurnakan” kualitas sperma suami.