Orang yang Berempati Menggemari Musik yang Sama

Studi terbaru mengungkapkan bahwa orang-orang yang memiliki empati tinggi memandang musik lebih dari sebuah karya seni. Peneliti menyimpulkannya melalui proses pemindaian otak terhadap sejumlah partisipan.

Orang yang Berempati Menggemari Musik yang Sama

Hasil studi yang dipublikasikan dalam jurnal Brain and Behaviour menunjukkan bahwa 20 persen dari populasi dunia memiliki kemampuan empati secara genetik.

Orang-orang yang memiliki empati tinggi biasanya lebih peka dan sensitif pada lingkungan sekitarnya, terutama yang menyangkut tragedi, kesulitan, dan kesedihan.

Peneliti dalam studi mengungkapkan empati terbagi menjadi dua kelompok. Pertama, empati emosional, yaitu orang-orang yang ringan tangan untuk meringankan beban orang lain. Kedua, empati kognitif, yang menggambarkan potensi untuk menyadari dan memahami perasaan orang lain tanpa harus bertanya secara terang-terangan.

Kemampuan empati pada manusia ini dipelajari oleh peneliti studi dengan menghubungkannya ke musik.

Menurut peneliti, orang-orang yang berempati tinggi menyukai musik yang menyentuh emosi, ketimbang yang netral.

Sementara banyak ilmuwan yang telah mempelajari asal-usul perasaan empati dalam diri manusia, penelitian ini justru menemukan hal baru. Mereka sepakat bahwa setiap orang dengan empati level tinggi memiliki sikap yang sama dalam memilih jenis musik yang mereka dengarkan.

Studi ini diproduksi oleh periset dari Southern Methodist University, Dallas, Amerika Serikat, dan University of California, Los Angeles, Amerika Serikat.

Mereka melibatkan 15 mahasiswa untuk melakukan pemindaian otak sembari mendengarkan ketukan musik pada eksperimen pertama.

Lalu, pada eksperimen selanjutnya, mereka mengumpulkan 20 mahasiswa yang menjalani proses serupa. Namun, jenis musik yang diperdengarkan sesuai dengan jenis musik favorit masing-masing, musik yang telah disediakan, dan musik yang benar-benar baru.

Seiring periode mendengarkan musik, para mahasiswa diperlihatkan sejumlah foto yang menampilkan gambar-gambar dengan nuansa berbeda, mulai dari foto orang-orang kelaparan dan orang-orang dengan batas kemampuan fisik.

Tujuannya, untuk melihat kadar dan level empati para partisipan di dalam otak masing-masing.

Kemudian, para peneliti menganalisis reaksi otak mahasiswa terhadap foto dan reaksi mereka pada musik yang diperdengarkan.

Analisis pemindaian otak memperlihatkan adanya kesamaan antara dua level empati. Area otak yang terkait dengan pendengaran dan sensorik terlihat lebih aktif pada mereka yang memiliki empati tinggi dan rendah.

Namun, orang yang punya kemampuan empati sangat tinggi, terlihat lebih menyukai musik-musik yang menyentuh perasaan dan akrab di telinga mereka.

Zachary Wallmark, profesor di SMU Meadows School of the Arts, mengatakan hasil penelitian ini juga mengindikasikan bahwa orang-orang berempati tinggi lebih menikmati musik sebagai ekspresi diri.

“Jika musik tidak berhubungan dengan cara pikiran kita memproses lingkungan sosial, kemungkinan studi ini tidak memperlihatkan adanya berbedaan dalam aktivasi otak orang berempati tinggi dan rendah,” ujar Wallmark.

Selain itu, peneliti juga menyimpulkan bahwa kemampuan berempati tidak dimiliki oleh banyak orang. Hal tersebut divalidasi oleh hasil studi yang dilakukan terhadap 46.000 paritisipan.

Studi tersebut menjelaskan bahwa kemampuan berempati juga datang dari bawaan lahir alias diturunkan oleh orang tua.

Penelitian yang dipublikasikan oleh jurnal Translational Psychiatry ini mengungkapkan bahwa terdapat 10 persen gen yang sama yang dimiliki oleh orang-orang berempati tinggi.

Terakhir, para peneliti juga membeberkan bahwa kaum perempuan mempunyai kemampuan berempati yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki.